28 Maret 2014

WHO AM I?? (Part V)

Hal yang paling sulit bermalam di sekolah adalah mencari tempat untuk tidur.
Matras sudah di tangan. Tapi kami kehabisan tempat untuk menggelar gulungan matras yang masih kami bopong. Belasan tubuh teman-temanku yang tidur pulas berbaris rapi. Mirip ikan asin dalam proses penjemuran
" Sini! Sini!"
Di sudut ruangan dua temanku yang paling penakut dari kami berenam rupanya sudah mendapat tempat. Cerdas!
Kami berempat mendekat. Kali ini dengan menyunggi matras. Susah! Selain berat, ngantuk, lelah, kami harus hati-hati melangkah. Jangan sampai menginjak atau malah tersandung tubuh salah satu teman yang sudah bermimpi. Sudah cukup lebam dan debu tercetak di badan. Waktunya menenangkan diri. Masa hibernasi tinggal 3 jam lagi.
" Belum tidur?"
Aku bertanya ketika kami berhasil meraih sudut ruangan. Lumayan luas.
" Euuw!! Pakai koran?"
Kami terkikik. Entah geli atau sekedar formalitas.
Matras terpasang. Kami berebut mengambil posisi. Akhirnya aku dan Rin mendapat posisi di sudut, berhubung tubuh kecil kami pintar menyempil. Kami sepakat tidur dengan posisi beradu kepala tepat di sebelah meja yang ditumpuk rapi. Aku memastikan badan dan kepalaku tidak membentur kaki meja waktu tidur nanti. Setelah cukup nyaman aku merebahkan badan.
Kami berenam tidak langsung tidur. Tapi berbisik-bisik sambil mendengarkan musik dari walkman. Sebentar-sebentar kami cekikikan. Menertawakan kekonyolan kami barusan. Emosiku pun sudah menguap entah kemana. Kami asyik bercerita dan lupa untuk segera tidur. Seru juga ternyata menginap bersama.
Aku mengulum senyum. Belum pernah aku bisa sesenang ini dekat dengan temanku yang perempuan. Apa ini berarti aku sudah menjadi perempuan sebenarnya?
Suara kami pelan-pelan menghilang. Satu per satu mulai tertidur. Lalu tinggal aku dan Rin yang masih terjaga.
" Ngantukku hilang."
" Aku ngantuk. Tapi nggak bisa tidur."
Aku menyahut putus asa.
" Masih berapa jam? Begadang sekalian aja, deh. Nanti bangunin mereka terus kita gantian tidur."
" Hah? Nanti kan ngumpul di aula. Mau tidur dimana? Di sini atau di sana?"
Rin menggeleng. Aku menimbang-nimbang usulnya. Tidur di kelas berdua, di lantai dua. Amankah?
Aku menoleh. Mata Rin terpejam. Aku menyodoknya pelan.
" Rin?"
" Hm."
" Jangan tidur duluan!"
" Aku nggak tidur."
" Melek dong! Kalau merem tau-tau ketiduran."
" Kamu merem juga kalau gitu."
" Katanya mau begadang."
" Oke!"
Rin langsung duduk. Aku masih tiduran di matras.
" Sepi banget."
" Udah pada tidur. Otak kita aja yang bandel nggak mau istirahat."
" Padahal tadi capek banget."
Rin meraih walkman lalu kembali tiduran. Kepala kami nyaris berbenturan.
" Kok diambil, sih?"
" Mereka udah tidur. Kita lebih butuh hiburan."
" Muter yang ini."
Aku menyodorkan kaset grup band kesukaanku.
" Bisa ketiduran kalau dengerin yang ini."
" Masak? Aku bosen denger yang itu-itu dari tadi."
Rin mematikan walkman. Mengeluarkan kaset dan menggantinya dengan kaset yang kusodorkan.
Aku memandang keluar jendela. Di luar gelap. Bayangan daun bergoyang pelan. Pilar bangunan jadi terlihat lebih besar di malam hari. Lalu mataku terpaku.
Dari jendela yang di sebelah pintu aku melihat cahaya berwarna merah bergerak pelan. Aku mengedipkan mata. Barangkali aku terlalu ngantuk sampai berkhayal yang tidak-tidak.
Cahaya itu masih ada. Dia bergerak sepanjang koridor, semakin dekat ke jendela di samping kiriku.
Tanganku bergerak-gerak mencari pundak Rin dengan mata masih menatap cahaya merah itu. Tanganku menyentuh ujung rambut Rin. Lalu aku menariknya.
" Rin."
" Aduh! Sakit!"
Rin menabok tanganku.
" Sttt ... Lihat itu!"
Aku berkata seraya menunjuk ke jendela.
" Apaan?"
Rin mendongak.
" Itu. Apa, ya? Yang warna merah."
" Hah?"
Rin langsung bangun. Matanya pun ikut-ikutan menatap jendela. Lalu menoleh.
" Dimana, sih?"
Aku mengerutkan kening.
" Ituuuuu. Lagi jalan. Jendela ke tiga dari pintu."
Rin memalingkan wajahnya ke jendela.
" Nggak ada apa-apa. Kamu ngantuk mungkin. Udah tidur aja. Nggak usah begadang."
Rin membanting tubuhnya ke matras.
Aku berdiri. Memang ada kok. Sekarang cahaya merah itu tepat di jendela didepanku.
" Rin!"
Aku menyepak asal. Bahunya kena.
" Duh! Apaan, sih?"
Aku tahu dia kesal tapi aku mau membuktikan kalau aku tidak salah lihat.
" Bangun!"
Aku menariknya supaya berdiri. Dengan malas dia berdiri disebelahku.
" Tuh! Dia ada di depan. Jalan arah kiri."
Rin maju sampai mentok ke susunan meja. Lalu mendorong kepalanya mendekati jendela. Tak lama dia mundur dan berbalik melihatku.
" Nggak ada."
Dahiku berkerut. Dia tidak lihat? Jelas-jelas ada cahaya. Warnanya merah pula! Jangan-jangan mata Rin sedikit rabun.
" Tidur. Jangan nakut-nakutin."
Rin kembali ketempatnya. Aku masih berdiri, melihat cahaya yang terus bergerak. Tiba-tiba cahaya itu berbelok ke kiri.
Tidak mungkin! Dia pasti menabrak tembok. Aku melongok sebisaku supaya bisa melihat keluar. Telinga kupasang lebar-lebar. Sunyi.
Tidak terdengar suara orang mengaduh atau bunyi sesuatu terbentur. Aku menegang.
" Rin!"
Aku berjongkok dan menarik tangannya kuat-kuat.
" Apa lagi?!"
Ada nada jengkel dari suaranya.
" Kok cahayanya belok, ya? Keluar, yuk! Lihat."
" Ogah! Kamu nakutin aja. Udah tidur!"
Aku merengut. Tapi aku yakin Rin tidak melihat. Dia sudah kembali ke posisi semula, lalu menutup wajahnya dengan syal.
Aku menjatuhkan pantatku ke matras lalu berbaring. Mataku menatap jendela sekali lagi. Gelap.
Tidak ada apa-apa. Tidak ada. Salah lihat. Terlalu ngantuk.
Batinku berulang-ulang sambil memejamkan mata. Masih tersisa satu jam untuk beristirahat. Aku tidak tahu bisa tidur atau tidak.
Suara musik terdengar lirih. Aku menajamkan telingaku, mencari-cari walkman.
" Masih dengerin musik, Rin?"
" Hm."
" Kok suaranya lain?"
" Nggak tahu. Tadi baik-baik aja, kok. Habis baterai mungkin."
" Kan barusan ganti."
" Jangan-jangan kasetnya ruwet di dalam, nih!"
Rin menyambar walkman di sampingnya. Cepat-cepat dia berusaha mengeluarkan kaset didalamnya.
Kaset itu baik-baik saja.
Tiba-tiba pintu terbuka. Beberapa temanku menggeliat bangun.
" Loh! Siapa itu di pojok?"
Suara An. Dia berdiri sambil memegang handle pintu.
" Aku."
Aku dan Rin menjawab serempak.
" Ngapain sih, An?"
" Udah waktunya bangun, ya?"
" Siapa di pojok?"
An tidak menggubris pertanyaan teman-temanku yang merasa terganggu.
" Kita berdua, An! Aku sama Rin."
Suaraku membangunkan yang lain.
" Ngapain, sih, teriak-teriak? Ganggu orang tidur."
Gumaman, gerutuan mulai bermunculan.
" Yang di atas kalian. Nongkrong di meja. Siapa?"
Aku dan Rin saling pandang lalu serempak mendongak. Tidak ada siapa-siapa.
" Maksudmu apa, An?"
" Oooh ... Nggak. Nggak ada apa-apa."
Setelah menjawab An menarik pintu. Menutupnya dari luar.
" Aneh banget, sih, tu anak!"
Rin menggerutu. Aku diam sediam mataku yang melirik ke meja di atas kepalaku.
" Lagunya masih goyang. Kayak dangdutan gini."
" Matiin, Rin!"

27 Maret 2014

WHO AM I?? (Part IV)

Kembali ke sekolahku ...
Aku tidak pernah menyangka bermalam di sekolah tak ubahnya uji nyali massal.
Tidak ada yang kesurupan tapi tetap ada hal yang membuat merinding. Sekolah seperti menebar aura mistis.
Waktu itu kami, aku dan dua temanku, berdempet-dempet berjalan ke aula. Tempat yang paling mengerikan bagiku sejak pertama masuk sekolah. Rasanya susah payah untuk bergerak maju. Seperti ada yang menahan laju langkahku. Apalagi dihimpit dua orang di masing-masing sisiku. Tiba-tiba dari arah dapur sekolah terdengar gemericik air. Kami berhenti. Detik berikutnya kedua temanku berlarian, menjauhi aula. Aku sendirian. Kupalingkan wajahku kearah jendela dapur. Aku tahu di bawah jendela itu ada bak cuci piring. Lalu aku menyusul teman-temanku kembali ke kelas.
Di kelas. Teman-temanku sudah membentuk lingkaran, mendengarkan kejadian barusan. Sesekali mereka menjerit. Kenapa masih mau dengar kalau ketakutan?
Aku mengetuk pintu. Mereka memekik sambil menoleh. Lalu mengomel padaku. Aku tahu sebenarnya mereka lega setengah mati. Karena bukan hantu bak cuci yang berdiri di depan pintu kelas.
Detik berikutnya mereka merubungku. Bertanya apa yang terjadi. Aku bilang tidak ada. Mereka kecewa. Apa mereka suka kalau aku bilang bertemu wanita yang merah menyala?
Ketika malam semakin larut aku kembali berjalan ke aula, mencari matras untuk alas tidur. Kali ini aku bersama tiga temanku yang lain. Saking ngantuknya dan ingin merebahkan badan kami bertekad mengalahkan rasa takut. Memang. Aku takut kali ini.
Di depan gerbang aula kami berempat berhenti. Kami saling pandang, saling berharap salah satu dari kami rela masuk ke aula yang gelap. Tak satu pun dari kami melangkah maju.
" Kalian ngapain disitu?"
" HWAAAAA!!!"
Kami berempat bertubrukan, merepet ke tembok gerbang. Aku tahu, meski dalam gelap, wajah kami pucat pasi. Terlalu kaget, terlalu takut.
Sesosok tubuh menjulang berdiri di mulut gerbang.
Guru kami.
" Kenapa masih keluyuran?"
" Ah ... Ummm ..."
" Ngomong yang jelas."
" Ambil matras, Pak!"
Salah satu temanku menjawab dengan membentak. Aku tahu maksudnya bukan seperti itu. Guru kami membuat kami terkejut dan nyaris kena serangan jantung. Aku pun masih tersengal-sengal waktu bernafas.
" Ya, sudah. Ambil sana. Terus tidur."
" Pak!"
" Ya?"
" Bisa nemenin masuk buat ambil matras?"
" Memangnya kenapa?"
" Gelap, Pak!"
" Takut, Pak!"
" Serem, Pak!"
Semua temanku menjawab dengan versi masing-masing.
" Kamu." Guruku menunjukku, " Masuk. Ambil matrasnya."
" Nggak mau, Pak."
Aku menjawab tanpa berpikir.
" Kenapa?"
" Hawanya beda, Pak. Terlalu dingin. Saya nggak sanggup."
" Kamu ngomong apa? Kalau malam pasti dingin."
" Terserah Bapak bilang apa. Saya tidak mau masuk sendirian."
Empat pasang mata menatapku. Aku takut masuk ke aula tapi aku berani melawan guru?
Aku harus bilang apa? Suasana di dalam aula memang mengerikan. Jangankan malam hari, siang pun suasananya sangat mistis. Aula itu seperti ada dalam dimensi yang berbeda.
" Ya, sudah. Kalian berdua masuk. Ambil matrasnya."
Guru itu tetap memaksaku masuk tapi kali ini dengan salah satu temanku. Kami berdua melempar pandang.
" Bapak?"
" Saya tunggu disini. Cepat ambil. Keburu malam."
Langkah kami tampak kaku. Dadaku rasanya mau meledak. Aku kesusahan bernafas. Udaranya berbeda. Dingin. Sepi ...
Ah! Susah menggambarkannya. Yang jelas udaranya lebih bersih dari udara yang dihirup tiap hari. Tapi saat dihirup terasa ganjil.
Mataku mencoba beradaptasi dalam gelap. Kenapa lampunya harus dipadamkan, sih? Kalau seperti ini kaki kami semakin geragapan menuruni undakan batu.
Pada undakan terbawah kakiku menjejak terlalu keras. Aku mendorong tubuhku ke depan. Menjaga keseimbangan. Nyaris terjungkal dan menubruk temanku yang berjalan di depanku.
" Itu. Matrasnya."
" Ayo, ambil. Terus pergi dari sini."
Kami menarik dua matras besar. Berat. Kami menarik lebih kuat. Masih tak bergeming.
" Kok susah, sih?"
" Nggak tau. Duh ... udah malam banget ini."
" Woi! Kalian bantuin dong. Susah, nih!"
Kedua temanku yang berdiri di gerbang aula saling pandang. Lalu ragu-ragu bergabung dengan kami dalam kepekatan aula.
" Hitungan ketiga tarik bersama-sama."
" Oke!"
" Siap? Tiga!"
BRUUGHHH!!
Kami terjengkang. Beberapa matras ikut terseret dan jatuh menimpa kami yang sudah tumpang tindih. Sambil menjauhkan matras kami berusaha bangun.
" Apa-apaan, sih?"
" Ngitungnya jangan langsung tiga, dong!"
" Kelamaan. Keburu keluar hantunya."
" Hiiiiiii ...!!"
" Jangan nyebut-nyebut hantu. Takuuuuutt ..."
" Kok malah pada ngobrol. Mau tidur di aula."
" NGGAK, PAK!"
" Buruan. Besok pagi telat bangun kalian."
" Susah, Pak. Bantuin kek."
Sebuah tonjokan halus mendarat di bahuku.
" Sama guru kok kaya gitu, sih?"
" Habisnya cuma berdiri kasih komando. Nggak lihat kalau kita sampai jatuh-jatuh kaya gini?"
" Udah. Buruan. Biar cepet keluar dari sini."
" Mau bawa yang mana ini? Banyak yang jatuh."
" Sembarang. Yang penting ambil dua."
Dua temanku menarik dua matras terdekat. Aku mengumpulkan matras yang berserakan di lantai. Mencoba mengembalikan ke tempat semula. Susah juga rupanya kalau menarik dan mengangkat sendirian. Kenapa mereka tidak membantu? Aku menoleh di tempat mereka menarik matras barusan. Tidak ada. Aku menoleh kearah lain.
" Lin, Rin, Hes!"
Sepi.
Suaraku seperti ditelan kegelapan. Aku diam, berusaha tenang. Di kejauhan terdengar suara langkah yang makin lama makin jauh. Denyut jantungku melonjak drastis. Aku sendirian!
Panik. Aku melempar matras yang masih kupegang. Tersandung-sandung aku berlari menaiki undakan batu. Semoga gerbang aula tidak dikunci, doaku.
Aku terus berlari tanpa menoleh. Aku tidak peduli lagi pada matras-matras yang masih berserakan. Aku hanya ingin keluar dari aula secepatnya.
Gerbang aula masih terbuka lebar tapi aku tidak mengurangi kecepatan langkahku. Gerbang itu satu-satunya harapanku. Gerbang itu yang akan membebaskanku dari mimpi burukku.
Ya. Menurutku aku sedang bermimpi buruk, sangat buruk. Meski aku tahu kalau aku sepenuhnya sadar. Aku pun merasakan telapak kakiku yang memanas. Karena kupakai menghantam ubin dan undakan batu.
Akhirnya aku berhasil melewati gerbang aula. Aku mengerang. Antara lega dan tegang.
Di kejauhan bayangan ketiga temanku kepayahan membawa matras. Aku kembali berlari. Kali ini kearah mereka.
Jarak semakin dekat. Aku terus berlari. Makin dekat. Aku masih berlari. Sedikit pun aku tidak mengurangi kecepatan langkahku. Lima meter. Lari. Empat meter. Terus lari. Tiga meter. Mereka menoleh lalu membelalak kaget. Dua. Satu.
BRUGHH!
Tubuhku menghantam ketiganya. Kami tersungkur dengan aku di atas mereka.
" Duh ..."
" Apaan, sih, lari-lari? Aughh ..."
" Aaaaww ..."
Aku berdiri. Mengibaskan tanah yang menempel di celana panjangku. Ketiga temanku menggeliat bangun.
" Kenapa, sih?"
" Kenapa? Kalian kenapa kabur?!"
Suaraku langsung meninggi.
" Kabur?"
" Kita kan jalan sambil bawa matras. Kamu malah yang lari marathon malam-malam."
" Kenapa matras yang jatuh nggak diberesin? Kenapa malah langsung pergi???"
Aku masih memekik-mekik, seperti orang tercekik.
" Biarin aja. Besok juga dipakai."
" Iya. Lagian keburu serem."
" Nanti hantunya nongol."
" Hush! Jangan sebut yang itu!"
" Kenapa aku ditinggal??"
Mereka bertiga diam. Nafasku masih memburu, naik turun.
" Maaf, deh."
" Iya, maaf. Takut banget."
" Untung aku nggak pingsan."
" Kenapa?"
" Kamu lihat apa?"
Ketiga temanku mendadak antusias.
" Lihat kanan, lihat kiri. Gelap. Nggak ada siapa-siapa. Sepi!"
" Kamu nggak lihat ..."
" Nggak ada! Kalau kamu pengen lihat. Sana! Balik ke aula. Dengan senang hati aku kunciin kamu sampai pagi!"
Kekesalanku belum sepenuhnya habis. Sedikit pemicu sanggup meledakkan amarahku.
Kenapa mereka tidak peduli padaku? Kenapa mereka justru penasaran dengan hantu-hantu yang 'kabarnya' menghuni hampir setiap gedung sekolahku?
" Sampai kapan disini?"
Aku bertanya setelah semuanya diam cukup lama.
Mereka bertiga buru-buru mengangkat matras. Aku turut membantu. Kami berjalan beriringan. Tersaruk-saruk antara mengantuk dan kelelahan. Waktu melewati dapur sekolah aku melirik sekilas. Ada bayangan berdiri di ambang jendela. Aku melempar pandang, pura-pura tidak melihat. Ketiga temanku tidak mengubah ritme langkah. Mereka tidak melihat. Baguslah.

24 Maret 2014

WHO AM I?? (Part III)

Sekolah terpencil itu terdiri dari beberapa gedung besar bertembok tebal. Sudah rahasia umum kalau sekolah biasanya menempati bekas gedung tempo dulu (peninggalan Belanda) atau dibangun di lahan luas yang punya sejarah horor. Sekolahku pun tak luput dari itu.
Dari cerita turun temurun, entah bagaimana kebenarannya, sekolah tempatku dikebiri ini dulunya lahan kosong yang menyimpan sejarah kelam. Masa lalu yang berdarah-darah, campuran darah kolonial Belanda maupun pribumi. Kalau darah campuran ini berwujud manusia, yang ada di bayanganku adalah sosok blasteran berkulit putih, bermata dan berambut gelap, tinggi badannya sedang, hidung mancung. Kelakuannya santun, agak malu-malu, ramah dan lidahnya selentur pribumi. Aku tidak peduli dia laki-laki atau perempuan. Toh, sejatinya dia tidak ada. Itu hanya gambar rekaanku saja.
Tapi segala sesuatu yang berbau horor dengan mudahnya merasuki pikiran murid-murid di sekolah. Sebagian ingin membuktikan, sebagian ingin menghindar. Aku termasuk yang menghindar.
Bukan berarti aku takut, seperti alasan mereka yang menghindari. Aku tidak nyaman. Karena hal mistik bagiku sama dengan langka. Tidak semua orang bisa bersentuhan dengan kemistikan. Kecuali mereka yang sok-sokan atau kurang kerjaan atau ingin dianggap 'beda'.
Apa asyiknya kalau semua orang tau?
Lebih mendebarkan kalau semua disimpan rapat sendiri. Bukan dipamerkan kesana kemari. Meski dengan dalih mengobati, menetralkan, menyadarkan, apalah itu.
Aku lebih suka menjauh kalau ada murid yang kerasukan.
Oh! Aku belum bilang kalau sekolah ini benar-benar berhantu dan mereka sering merasuki? Kerasukan arwah sepertinya masuk dalam kurikulum di sekolah. Itu sudah seperti jadwal pelajaran. Hanya jadwalnya tidak pasti tapi selalu terjadi.
Awalnya tampak aneh melihat gerombolan orang di kejauhan. Begitu didekati ternyata mereka sedang merubung salah satu murid yang sedang menggelepar kejang, kelojotan, melotot, mendesis, menggeram, kadang memekik.
Aku tidak tahan dengan itu. Selalu saja yang kerasukan melihat kearahku dimana pun aku berdiri. Melotot tajam. Mengherankan memang. Aku tidak termasuk tinggi tapi selalu terlihat dengan mudah. Dan menjauh atau menghindari kerumunan adalah satu-satunya jalan keluar.
Selain itu, peristiwa kerasukan tidak selamanya menarik jika sering terjadi dan pada orang yang sama. Tapi kenapa ada yang suka diperlakukan sebagai medium? Sudah tahu gampang dirasuki, masih suka mengosongkan pikiran. Sudah tahu tempat-tempat yang 'wingit', masih saja sering mendatangi.
Kadang aku gatal sekali ingin menanyakannya. Tapi mulut dan lidahku enggan terbuka.
Sudahlah. Mungkin mereka punya pemikiran sendiri. Meski ujungnya merepotkan orang lain dan dinilai lemah karena terlalu gampang dikuasai makhluk halus. Yang jelas aku hanya ingin tiga tahun ini cepat berlalu. Aku khawatir kelelahan karena tiap hari menempuh jarak lumayan jauh demi satu hal. Menuntut ilmu. Errr ... itu menurut ibuku. Kalau aku mungkin menikmati era kebebasan.
Saking jauhnya jarak yang ditempuh aku justru bisa lebih santai. Pulang terlalu sore tidak menjadi masalah. Apalagi jadwal pelajaran kadang sampai jam kesepuluh. Itu berarti jam tiga sore aku baru keluar dari sekolah. Meski pada prakteknya jarang sekali terjadi. Mana ada guru yang tega atau betah mengajar hingga sore hari. Biasanya mereka memangkas jam pelajaran. Jadi sisanya bisa kugunakan untuk nongkrong di tempat pemberhentian bus. Aku memang tidak langsung pulang. Orang tuaku, terutama ibu, tidak pernah tahu.
Meski begitu aku tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Aku hanya duduk-duduk, melihat kendaraan yang lalu lalang, menikmati angin yang mengibarkan rokku, melihat murid-murid lain berlari mengejar bus lalu berebut masuk kedalamnya. Kadang aku mengobrol, dengan murid yang aku kenal baik pastinya. Hanya seperti itu. Aku mungkin anak yang terlalu lurus waktu itu. Berbuat nakal pun tidak sepenuhnya.
Kadang aku bertemu dengan 'pengganti kakek'. Dia menempuh jarak yang lumayan jauh untuk sampai ke sekolahku. Ada kalanya aku yang datang ke sekolahnya, meski tidak akan bertahan lama.
Terlalu sering berinteraksi dengan perempuan membuatku sedikit ketakutan begitu masuk ke hutan pejantan. Dimataku para lelaki mendadak seperti banteng lapar. Aku buruan.
Mereka memang tidak berliur, bermata merah dan mendengus-dengus penuh nafsu. Tapi tetap saja ... Keberadaan makhluk sepertiku yang langka seperti populasi mereka di sekolahku. Dan aku yang suka rela datang meski malu-malu ini akan membangkitkan gairah mereka yang sedang belajar menggeliat.
Aku memang bersamanya, pengganti kakek. Tapi dia tidak akan bisa melindungiku sepenuhnya. Salah satunya dari tatapan mereka yang berusaha menelanjangiku. Tidak mungkin dia menutup mata mereka satu per satu supaya tidak melihatku. Cari mati saja.

20 Maret 2014

WHO AM I?? (Part II)

Hal yang diharapkan orang tuaku dan orang tua temanku terkabul. Kami lulus SMP.
Aku tidak peduli berapa nilaiku meski alis orang tuaku berkerut. Tanda mereka kurang puas dengan hasilku. Biar saja.
Perasaanku sedang baik dan aku tidak ingin merusaknya. Sudah lama aku puasa bahagia. Ya. Aku merasa bahagia. Seperti terlepas dari belenggu. Dan aku sudah mantap melanjutkan ke STM. Dengan orang itu. Pengganti kakekku versi muda.
Ibu menolak mentah-mentah kemauanku. Aku perempuan dan harus masuk sekolah perempuan, bukan malah bergabung dengan laki-laki. Bisa jadi preman aku nanti. Seperti itulah singkatnya pidato ibuku.
Sampai kapan ibu seperti ini? Kenapa susah sekali memahami anaknya sendiri?
Aku lebih suka berteman dengan laki-laki. Dengan mereka aku bisa melakukan apa saja. Tidak kebanyakan aturan. Tidak kebanyakan komentar. Tidak kebanyakan membicarakan hal tidak penting!
Tapi akhirnya aku mengalah. Dari pada aku tidak sekolah. Dia pun bilang " Turuti ibu. Kita cuma berpisah sekolah. Nanti kita masih bisa bertemu dan bermain seperti biasa."
Begitulah. Aku didaftarkan ibuku masuk SMTK karena aku tidak mau masuk SMEA. Aku benci ekonomi!
Wajahku kusut sekali waktu pertama kali memasuki sekolah itu. Selain jauh sekali dari rumah dan peradaban, hawanya terlalu panas. Murid-muridnya kebanyakan dari SMP yang belum kenal komputer. Aku melongo melihat mereka bergairah penuh nafsu ketika mata mereka menatap layar monitor yang mati. Apa ibuku melemparku ke jaman batu? Tega sekali.
Awalnya aku kesulitan berbicara dengan teman baruku. Mereka bicara sepertiku, bukan bahasa purba. Lidahku saja yang kaku, mukaku pun beku. Sulit sekali mencari teman di tempat terpencil ini. Meski tidak semua muridnya perempuan. Ada beberapa gelintir laki-laki. Mereka dibagi menjadi 5 kelas. Di kelasku ada 5 orang. Tapi tetap saja kurang menyenangkan. Mereka tidak terlihat ketika berada diantara perempuan.
Padanya aku mengadu tidak betah. Aku ingin satu sekolah saja dengannya. Dia bilang tidak boleh. Aku harus belajar mandiri. Bibirku mengerucut dan aku berbalik, memunggunginya. Dia hanya tersenyum melihatku merajuk. Lalu tangannya mengelus kepalaku. Sebaik ini dia. Dan ibu tidak mengijinkan kami satu sekolah?
Tapi menginjak bulan ke empat angin seperti berubah arah. Semua orang, di sekolah itu, mengenalku. Penyebabnya salah satu temanku (kebetulan laki-laki idola) mendekatiku. Awalnya aku menjaga jarak. Idola bagiku sama saja dengan 'bahaya'. Dekat dengan sosok seperti itu di ladang perempuan tak ubahnya menyodorkan tubuh pada gerombolan macan lapar. Aku pasti akan dikoyak sampai habis. Mungkin tulangku akan dikemah-kemah sampai tipis.
Sayangnya dia bukan tipe mudah menyerah. Dan aku menjelma jadi permaisurinya (menurut murid-murid di sekolahku). Semua bersujud ketika dihadapanku. Tapi mungkin tidak saat di belakang punggungku. Bisa saja mereka menyembunyikan pisau atau pentungan. Mencari kesempatan untuk menyerang.
Apa aku takut?
Tidak. Tidak bisa kupungkiri kalau lama-lama aku senang dekat dengan laki-laki itu. Karena kami sama-sama tidak mengekang dan tidak ada ikatan percintaan. Kami sama-sama ingin bebas dan kami menemukan satu sama lain. Itulah alasan kami bisa dekat. Bagaimana dengan pengganti kakekku?
Tentu saja dia tetap bersamaku. Aku menjalani masa putih abu-abu dengan dua laki-laki. Itu menyenangkan!
Ada untungnya juga ibu menuntunku ke sekolah yang terpencil.
Aku tidak sadar justru di sini aku banyak menemukan kalau aku 'berbeda'.

19 Maret 2014

WHO AM I?? (Part I)

Ini bukan membahas film yang dibintangi Jackie Chan. Ini tentang aku ...
Ada hal pada diriku yang tak kuselami dengan baik. Sesuatu yang mungkin jarang ada pada diri setiap orang. Dan selama ini kuabaikan.
Aku memang menganggapnya tidak terlalu penting. Karena hal yang 'langka' selalu menarik perhatian. Aku tidak nyaman dengan itu. Maka aku simpan semua rapat-rapat. Bersikap biasa dan semua tampak baik. Wajar.
Orang tuaku pun tidak pernah tahu. Karena mereka tidak berminat bersinggungan dengan hal ini. Lalu untuk apa kuberi tahu?
Tapi kini aku banyak berpikir tentang diriku. Mencoba mengingat dan mencari benang merah dari satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Rasanya seperti mencongkel akar pohon purba. Sudah terlanjur membatu karena terkubur begitu lama.
Sejak kapan itu terjadi? Sejak kapan aku bisa?
Dulu pun aku berpikir itu hanya kebetulan. Tapi tak ada kebetulan yang datang bertubi-tubi.
Menurutku semua terjadi sejak kakek meninggal. Beliau bukan kakek kandungku. Ibuku dulu diasuh kakek dan nenek sejak bayi. Bukan! Ibuku bukan anak pungut. Mereka masih ada pertalian keluarga. Hanya saja ibu dirawat keluarga budenya karena mereka tidak punya anak. Jadilah ibuku anak tunggal.
Lalu bertahun-tahun kemudian, setelah ibuku menikah dengan bapak, kakakku lahir disusul aku dua tahun kemudian. Adikku lahir setelah aku berumur empat.
Kami tumbuh sebagai anak normal (menurutku) hanya saja suhu tubuhku selalu hangat seperti sedang demam. Banyak orang yang kadang terkejut jika kulit mereka bersinggungan denganku. Mereka pasti memekik, mengatakan tubuhku panas sekali. Anehnya aku tidak merasa kepanasan. Termometer pun tidak menunjukkan kejanggalan tiap kali mengukur suhu tubuhku.
Ketika masuk SMP, nenekku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, aku mengikuti ekstrakurikuler PMR. Waktu sedang belajar menghitung denyut nadi, guruku shock dengan hasil hitungan denyut nadiku. Awalnya beliau berpikir aku salah hitung, tapi waktu diulang hasilnya sama. Dengan dahi berkerut guruku pun meminta temanku bergantian menghitung denyut nadiku. Pergelangan tanganku berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Lalu beliau pun turun tangan, memegang pergelangan tanganku dan menghitung. Hasilnya sama. Dan beliau menggelengkan kepala, menatapku keheranan.
Aku menelan ludah. Belum pernah aku mendapat tatapan seperti itu sebelumnya. Rasanya seperti alien yang ketahuan menyamar. Tubuhku mengkerut di sandaran kursi.
Memangnya kenapa kalau denyut nadiku sama dengan laki-laki? Aku merasa sehat. Aku jarang sakit. Meski dulu pernah opname karena aku harus operasi pengangkatan amandel. Tapi sesudahnya tubuhku malah semakin membaik.
Tak lama kakekku meninggal. Aku (paling) kehilangan. Sejak kecil kakek adalah orang yang paling dekat denganku. Entah kenapa aku tidak suka menempel pada ibu. Aku lebih suka bermain, bercerita, belajar dan menggambar dengan kakek. Aku terbiasa jauh dari ibu dan bapakku, tapi tidak dengan kakekku.
Rasanya takut dan kesepian sekali. Melebihi perasaan saat nenekku meninggal. Aku merasa sendirian, tidak punya siapa-siapa padahal orang tua, kakak dan adikku tinggal bersamaku. Berhari-hari aku menangis, meringkuk di kamar kakek, membuka album foto, memandangi wajah kakekku satu-satu. Berbicara, bercerita seolah kakekku duduk bersamaku seperti biasa. Tapi aku mulai berhenti menggambar dan jadi lebih sering membaca, di kamar kakek. Menggantikannya yang dulu biasa mendongeng untukku.
Nilai-nilai mata pelajaranku menurun. Ibu dan bapak memarahiku. Aku linglung. Aku seperti gadis patah hati. Tapi waktu masuk ke kamar kakek aku tidak peduli lagi. Aku merasa ada kakek yang akan mengusap pelan kepalaku. Kakek tidak peduli tentang nilaiku di sekolah. Kakek lebih peduli nilai kehidupan yang tidak mengenal ABC atau 123.
Waktu kelas 3 SMP ibu mewanti-wanti agar aku memperbaiki nilai-nilaiku. Aku frustasi. Yang kubutuhkan bukan tekanan. Aku butuh kakekku. Atau paling tidak seseorang yang bisa menggantikan kakekku. Dan ibuku malah menyuruhku menyembah buku siang malam?
Lalu aku mulai nakal. Aku sering terlambat pulang, sering pergi tanpa pamit, sering bermain jauh, sering ikut berkelahi. Karena aku menemukan orang yang bisa mengerti aku, seperti kakek. Dia temanku meski berbeda kelas. Dia sangat melindungiku, sangat peduli padaku. Mungkin karena kami sama-sama kehilangan orang yang kami sayang. Bapaknya meninggal tak lama setelah kakekku.
Di sekolah aku hampir selalu mengekorinya. Dan jam-jam pelajaran waktu itu sangat menyiksa. Tidak ada yang menepuk bahuku, tidak ada yang mengusap kepalaku, tidak ada yang ... Intinya dia bisa mengobati kerinduanku pada kakek.
Anehnya tidak ada seorang pun yang sadar dengan kedekatan kami. Dan semua berjalan seperti biasa. Sampai tiba waktunya ujian SMP.
Aku benar-benar harus bekerja keras untuk menghasilkan nilai yang bagus di mata orang tuaku. Atau nilai yang memenuhi standar kelulusan. Rasanya jungkir balik. Tekanannya terlalu besar. Aku sempat jatuh sakit.
Kenapa sesulit itu untuk lulus SMP? Orang mati saja tidak seperti ini. Mereka bisa tiba-tiba mati dan ditangisi karena lulus ujian hidup. Sedangkan ujian sekolah? Diberitahu jauh hari sebelumnya kapan tanggal ujian datang. Dan kalau lulus semua tertawa senang. Semua gembira. Tidak ada yang kehilangan. Meski sebelumnya kelimpungan.
Mau tidak mau aku belajar sampai jauh malam. Seperti itu setiap hari. Lalu aku sakit. Tapi aku tidak bilang pada ibuku. Percuma.
Yang diinginkan ibu saat ini hanya nilaiku meningkat pesat. Kantung mataku pun tidak cukup menarik perhatian untuk ditanyakan.
Lalu malam itu. Pertama kali ...
Aku ingat sekali. Hujan mengguyur lumayan deras. Aku sedang mati-matian belajar untuk ujian Ilmu Pengetahuan Sosial (Ekonomi, Geografi dan Sejarah). Dari ketiganya hanya Sejarah yang kukuasai. Sisanya neraka!
Aku tidak tahu berapa jam aku belajar di lantai beralas karpet. Yang jelas aku ketiduran. Sewaktu bangun tubuhku sudah terbalut selimut. Rapi. Aku seperti tidak bergerak sama sekali saat tidur. Siapa yang menyelimutiku?
Aku bertanya pada ibu. Mungkin semalam ibu menyelinap masuk lalu menyelimutiku. Bukan, katanya. Aku bertanya pada kakak. Dia bilang tidak tahu. Bapak pun tidak. Adikku? Jelas tidak mungkin. Dia tidur lebih dulu. Aku coba mengingat-ingat tapi tidak berhasil. Bahkan hafalan pelajaran semalam ikut menghilang. Perutku mulas.
Hari itu aku seperti untung-untungan mengerjakan soal ujian. Disamping aku lupa semua, pikiranku tidak fokus mengerjakan. Kejadian semalam begitu menggangguku.
Aku tidak tahu ini hanya permulaan. Hidupku berubah sejak itu ...

26 Desember 2013

Tic Toc SPLASH!!!

Gavin masih menatap heran padaku. Aku berusaha bersikap sewajar mungkin.
“ Motorku nggak kamu apa-apain, kan?” tanyanya curiga.
Aku melotot, “ Enggak, lah!”
“ Terus? Kenapa kamu mendadak jadi aneh?”
“ Kenapa kamu mendadak bawel, sih?” balasku sengit.
Gavin menatapku.
“ Oke! Kalau masih bisa marah kayak barusan berarti kamu waras,” katanya kemudian.
Sialan!
Gavin berbalik masuk membiarkan pintu terbuka untukku. Aku mengikutinya. Ruangan itu sudah lebih bersih dari sebelumnya. Lalu mataku menatap gundukan besar di salah satu sudut.
Aku menghela nafas.
Ternyata barang-barang yang berserakan kemarin hanya dipindah ke pojok ruangan lalu ditutup dengan kain seadanya. Pantas cepat, batinku.
“ Sudah siap?” tanya Gavin.
Aku mengerutkan kening.
“ Woi!”
Aku melonjak.
“ Mikir apa, sih?” tanyanya, “ Jadi nggak?”
“ Jadi!” sahutku cepat.
“ Ya, udah. Masuk!” kata Gavin seraya membuka mesin waktunya.
“ Kok kosong?” tanyaku heran.
“ Kamu berharap ada apanya?”
“ Ada kursinya gitu.”
“ Iya! Sekalian kasih meja sama makanan,” sindir Gavin, “ Kalau perlu kasur sama toilet sekalian.”
“ Ya bukan kayak gitu, Vin. Masak aku berdiri?”
“ Berdiri sebentar. Nggak usah rewel,” ejek Gavin, “ Nanti juga langsung pindah tempat.”
“ Beneran?” tanyaku.
“ Katanya minta dicoba.”
“ Ada efek samping nggak?”
“ Ada.”
“ Apa?”
“ Jadi nggak, sih?” Gavin jengkel.
“ Itu efek sampingnya bahaya nggak?” tanyaku panik.
“ Nanti juga tahu,” sahut Gavin, “ Udah, masuk. Buruan!”
“ Aku bisa balik enggak?”
“ Bisa. Rewel banget, sih, belum apa-apa. Cepetan!”
Gavin mendorongku ke dalam mesin waktu. Aku berusaha berkelit. Tapi tenaganya ternyata lebih besar dari yang ku duga. Gavin menutup pintunya tepat ketika aku hendak menerjang keluar. Lalu semuanya gelap.
Beberapa detik kemudian aku merasa seperti diguncang-guncang. Lalu dilempar kesana kemari. Pelan-pelan tubuhku melayang. Aku berusaha mencari pegangan meski aku tahu tidak ada yang bisa dipegang dalam kotak sempit itu. Kakiku menendang-nendang ke segala arah, berusaha tetap merasakan lantai di bawahku. Tidak terasa apa-apa. Justru aku seperti terurai berwarna-warni dan mulai melayang-layang tak jelas. Melewati kabut panjang yang berdengung. Berputar-putar. Semakin lama semakin cepat. Semuanya kabur.
Aku menjerit tapi suaraku sama sekali tidak keluar. Apa yang Gavin lakukan padaku? Apa dia tahu jika akan seperti ini? Aku benar-benar panik sekarang.
Tubuhku mulai memadat ketika kewarasanku ada diambang batas. Pelan-pelan aku mulai merasakan kakiku menapak. Nafasku terdengar memburu. Tidak bisa disangkal dan bagiku ini tidak memalukan. Siapa pun pasti akan ketakutan setengah mati jika disulap menjadi debu warna warni.
Seiring nafasku yang mulai teratur, aku mulai melihat cahaya yang semakin lama semakin terang.
“ Gavin!” hardikku.
Tidak ada siapa-siapa.
Lalu aku sadar. Aku berada di tempat lain. Bukan sarang tikus Gavin.
Terdengar kicau burung bersahutan. Semilir angin. Gemericik air. Basah. Di bawah.
Hah?! Sontak aku melihat ke bawah.
“ Shit!”
Kakiku terendam sampai mata kaki. Sneakers oren yang ku pakai tampak mencolok diantara lumpur dan sampah. Lalu aku melihat sekeliling.
Aku berdiri di selokan kecil.
“ GAVIN!!!”

***

19 Desember 2013

Tic Toc SPLASH!!!

2

Pagi harinya…
Aku berjalan bolak balik di halaman sempit itu. Menunggu Gavin dengan tak sabar. Kenapa dia bangun terlambat, sih? Bukannya aku sudah memasang alarm di ponselnya supaya dia bangun lebih pagi?
Aku menendang kerikil sambil menggerutu. Sampai dimana profesor sinting itu sekarang? Sudah lebih dari jam 9, waktu yang dijanjikan. Biasanya aku tidak akan menunggu kalau orang yang punya janji denganku datang terlambat. Dan itu pun berlaku untuk kencan. Ups! Itu kan hal yang jarang aku lakukan.
Tapi kali ini aku sangat membutuhkan bantuan Gavin. Mau tidak mau, suka tidak suka, meski dongkol luar biasa, aku harus menunggu. Ya. HARUS!
Mungkin Gavin akan besar kepala jika dia tahu berhasil membuatku mau menunggu. Dan itu… sudah lebih dari setengah jam yang lalu.
Gavin brengsek! Makiku dalam hati.
Terdengat suara berisik mendekat. Aku mengerutkan kening. Apa-apaan ini? Seperti suara knalpot bodol. Tapi orang waras macam apa yang mau menggunakan kendaraan seberisik itu? Orang gila pun aku rasa akan berpikir dua kali. Bunyinya benar-benar menyiksa telinga. Merusak suasana saja. Oh, aku lupa! Suasana hatiku sudah rusak nyaris satu jam yang lalu.
Mataku melotot ketika melihat sebuah kendaraan buruk rupa lengkap dengan pengendara berhelm rapat berhenti di depan sarang tikus Gavin. Detik berikutnya mungkin bola mataku sudah nyaris keluar waktu aku tahu makhluk berhelm rapat itu...
“ GAVIN!” jeritku.
“ Yo!” sahutnya sembari mengangkat tangannya.
“ Matiin. Berisik!” aku masih menjerit-jerit menyaingi suara knalpotnya yang luar biasa itu.
Gavin mematikan mesin motornya lalu dengan santai mendatangiku. Sepertinya dia tidak terpengaruh sama sekali dengan dahiku yang berkerut lima tingkat.
“ Ini jam berapa?” semburku begitu dia ada didepanku.
“ Jam 10,” sahutnya kalem.
“ Kemarin janjian buat jam berapa?”
“ Jam 9.”
“ Kenapa telat?!” aku gemas.
“ Kan tadi udah bilang telat bangun. Duh! Kamu tadi makan apa, sih, jadi pelupa.”
Aku memukul bahunya dengan tas selempangku.
“ Nyebelin!”
“ Sakit, woi!”
“ Biarin! Biar kamu tahu rasa. Itu akibatnya kalau bikin aku nunggu.”
“ Haduh… Siapa yang minta ditunggu? Kalau kelamaan ditinggal juga nggak apa-apa, Sas. Kok mendadak jadi sungkan gitu sama aku.”
Meteran pengukur kesabaranku jebol sudah. Tanpa basa basi aku mulai memukulinya sesukaku. Bukan minta maaf karena merasa bersalah malah menggoda. Gavin memang tidak peduli situasi.
“ Ampun, Sas… Kamu cewek apa gorilla, sih?”
Aku menendang tulang keringnya.
“ Bercanda lagi masuk rumah sakit beneran kamu!” ancamku.
Gavin pura-pura cemberut. Aku mengacungkan tinjuku. Buru-buru dia memasang wajah standar. Gaya konyolnya sejak dulu.
“ Masuk!” kataku.
“ Itu rumahku, Sas,” protesnya.
“ Masa bodoh!”
“ Udah dong, Sas, jangan ngambek lagi,” rengeknya.
“ Masalah?”
“ Bikin nggak enak aja.”
“ Makanya jangan telat!” bentakku.
“ Kan sama aja ujungnya. Bakal masuk ke sarang tikus.”
“ Waktu itu nggak berharga ya buat kamu,” kataku dingin
Gavin terdiam. Sepertinya dia melihat perubahan di wajahku ketika aku mengatakan itu. Buru-buru dia beranjak ke sarang tikus. Membuka kuncinya lalu masuk ke dalam. Aku mengikutinya tanpa banyak bicara.
Ruangan itu masih sama seperti kemarin. Berantakan.
Aku menatap Gavin. Kesal. Gavin menelan ludah. Bersiap dengan seranganku berikutnya. Tapi aku diam saja. Lalu dia mulai membersihkan ruangan tanpa banyak bicara. Aku? Lebih memilih keluar. Biar saja. Anggap itu hukumannya karena telat datang.
Di luar, mataku menatap kendaraan yang dibawa Gavin. Lebih mirip rongsokan yang mengeluarkan bunyi dari pada motor atau mobil. Eh, tadi Gavin pakai helm. Berarti menurut dia benda ini masuk kategori motor. Aku mengerutkan kening.
Lalu aku mendekat. Mencoba memastikan apa yang ku lihat.
Tapi dengan jarak setengah meter pun di mataku kendaraan Gavin ini tetap tidak bisa disebut kendaraan. Dari mana dia mendapat ide untuk membuat benda seaneh ini? Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“ Sas!”
Aku mendongak. Gavin berdiri di ambang pintu dengan kemoceng di tangan kiri dan sapu di tangan kanan. Aku nyaris terbahak melihatnya mirip ibu rumah tangga kelebihan hormone testosteron.
“ Ngapain kamu?” tanyaku, “ Lagi nyamar jadi dewa rumah tangga?”
“ Bantuin, kek, malah ngeluyur.”
“ Aku bantu buang rongsokan ini, ya!” seruku sembari menunjuk motor Gavin.
Kontan wajahnya berubah lalu buru-buru menghampiriku. Sambil membawa sapu dan kemoceng.
“ Geser satu inci aja mesin waktuku nggak jadi hidup!” geramnya.
Wow! Sejak kapan Gavin pintar mengancam?
Aku mencibir, “ Ini lebih mirip sampah dari pada motor, Vin.”
“ Aku suka kok,” sahut Gavin, “ Itu bikinanku juga.”
Aku melongo.
Gavin berbalik, mengabaikan tatapan tak percayaku.
Perlu beberapa detik setelahnya bagiku untuk bisa mengatupkan rahang. Apa Gavin memang sejenis makhluk aneh? Nerd, cupu apa lah itu.
Dia punya cukup uang untuk membeli kendaraan bermotor yang layak pakai. Mungkin kah dia terlalu pelit? Atau… Otaknya terlalu disayangkan untuk menganggur sehingga dia menciptakan benda-benda aneh? Di dalam sarang tikus itu ada beberapa benda aneh hasil rekayasa barang bekas yang dilakukan Gavin. Lalu mesin waktu itu.
Aku berjingkat. Seperti kena cubit. Lemari itu bagaimana? Apa akan aman-aman saja jika ku gunakan? Bisakah berfungsi? Apa aku akan baik-baik saja? Mendadak seluruh badanku sedingin es, jantungku berdebar keras, aku mulai panik. Kenapa sekarang aku ragu-ragu? Kenapa aku merasa takut?
“Sas!”
Aku melonjak, kaget.
Gavin menatapku heran dari ambang pintu.
“ Udah beres. Masuk sini!” serunya kemudian.

Aku menelan ludah. Lalu dengan langkah kaku aku mendekatinya.